Jahit Bendera, Sering Sakit dan Susah Cari Makan
Tribun Medan - Jumat, 12 Agustus 2011 10:10 WIB
Tribun Kaltim / Niko Ruru
Fauzi bin Hud Alatas bersama benderanya.
Laporan wartawan Tribun Kaltim / Niko Ruru
TRIBUN-MEDAN.com, NUNUKAN - Fauzi bin Hud Alatas merupakan salah seorang sosok yang menentukan keberhasilan pembentangan bendera merah putih sepanjang 3.000 meter dengan lebar 1 meter 15 sentimeter yang akan dilaksanakan 16 Agustus mendatang di perbatasan RI-Malaysia di Desa Sekaduyan Taka, Kecamatan Siemanggaris, Kabupaten Nunukan.
Sedikitnya 8.000 personil akan terlibat membentangkan bendera dimaksud.
Fauzi yang merupakan mantan sukarelawan Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) saat konfrontasi RI-Malaysia ditahun 1960-an, mengaku tidak meminta bayaran tertentu untuk usahanya menjahit bendera dimaksud. Padahal selama empat bulan menyelesaikan penjahitan bendera, ia sama sekali tak menerima order jahitan. Dengan begitu, nyaris ia tak memperoleh pendapatan apapun selama empat bulan itu.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, ia terpaksa berhutang. Terkadang ia menerima sejumlah uang untuk membeli beras dari LSM Panjiku, yang mengorder penjahitan bendera itu.
“Memang penderitaan juga terasa sangat berat. Saya menjahit hampir tidak ada istirahatnya sampai sakit saya rasakan. Makan saja kami susah cari. Kami usahakan menjahit ini walaupun tanpa dibayar dan tidak ada terima jahitan selama itu,” ujarnya.
Biaya pembuatan bendera itu memang menghabiskan anggaran hingga Rp42 juta. Namun anggaran sebesar itu hampir seluruhnya dibelikan bahan pembuatan bendera. Jadi jangan dipikir, Fauzi mendapatkan keuntungan yang besar dari usahanya itu.
“Selama mengerjakan bendera itu saya hanya bermodalkan semangat karena ini untuk kepentingan bangsa. Saya berfikir, kalau saya berhenti menjahit nanti terlambat. Jadi walaupun sakit tetap saya kerjakan, sampai sekarang berobat pun tidak. Karena mau beli beras saja susah,” katanya.
Selama mengerjakan bendera itu Fauzi harus melibatkan Hasmi sang istri dan Andi Muliadi adiknya. Dengan menggunakan tiga mesin jahit seadanya, mereka meluangkan waktu yang tidak pendek untuk menyelesaikan jahitan itu. Karena terus dipacu bekerja selama empat bulan, kondisi mesin kini memprihatinkan. Hingga kini hanya satu mesin saja yang bisa berfungsi dengan baik.
“Awalya ada empat mesin, dua rusak. Tapi yang berfungsi dengan baik hanya satu mesin saja. Ada mesin yang pecah. Makanya saya juga mikir bagaimana cara mencari pengganti mesin ini.
Mau percaya boleh tidak juga boleh, saya buat bendera karena hatinya bangsa ikut. Mereka yang sudah tiada bagaimana, itu yang saya pikir,” katanya.
Kini pekerjaan Fauzi menjahit bendera telah usai. Iapun meninggalkan sejumlah persoalan yang belum mampu diselesaikannya. Selain mesin jahit rusak, mencari biaya makan yang sulit, iapun terancam harus angkat kaki dari rumah kontrakan tempat usahanya menjahit selama ini.
“Mudah-mudahan kalau dibelakang ada belas kasihan.
Kami hampir pergi dari sini karena bayar rumah ini saja kami tidak bisa. Tinggal lima bulan waktu kami di sini, kalau tidak bisa bayar harus angkat kaki. Mudah-mudahan ada yang mau bantu. Kalau soal makan bisa dicari. yang penting bagi saya utnuk kepentingan negara ini. Mau teriak sama siapa kalau bukan teman sendiri, bangsa sendiri?” katanya.(niko/tribunkaltim.co.id)
TRIBUN-MEDAN.com, NUNUKAN - Fauzi bin Hud Alatas merupakan salah seorang sosok yang menentukan keberhasilan pembentangan bendera merah putih sepanjang 3.000 meter dengan lebar 1 meter 15 sentimeter yang akan dilaksanakan 16 Agustus mendatang di perbatasan RI-Malaysia di Desa Sekaduyan Taka, Kecamatan Siemanggaris, Kabupaten Nunukan.
Sedikitnya 8.000 personil akan terlibat membentangkan bendera dimaksud.
Fauzi yang merupakan mantan sukarelawan Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) saat konfrontasi RI-Malaysia ditahun 1960-an, mengaku tidak meminta bayaran tertentu untuk usahanya menjahit bendera dimaksud. Padahal selama empat bulan menyelesaikan penjahitan bendera, ia sama sekali tak menerima order jahitan. Dengan begitu, nyaris ia tak memperoleh pendapatan apapun selama empat bulan itu.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, ia terpaksa berhutang. Terkadang ia menerima sejumlah uang untuk membeli beras dari LSM Panjiku, yang mengorder penjahitan bendera itu.
“Memang penderitaan juga terasa sangat berat. Saya menjahit hampir tidak ada istirahatnya sampai sakit saya rasakan. Makan saja kami susah cari. Kami usahakan menjahit ini walaupun tanpa dibayar dan tidak ada terima jahitan selama itu,” ujarnya.
Biaya pembuatan bendera itu memang menghabiskan anggaran hingga Rp42 juta. Namun anggaran sebesar itu hampir seluruhnya dibelikan bahan pembuatan bendera. Jadi jangan dipikir, Fauzi mendapatkan keuntungan yang besar dari usahanya itu.
“Selama mengerjakan bendera itu saya hanya bermodalkan semangat karena ini untuk kepentingan bangsa. Saya berfikir, kalau saya berhenti menjahit nanti terlambat. Jadi walaupun sakit tetap saya kerjakan, sampai sekarang berobat pun tidak. Karena mau beli beras saja susah,” katanya.
Selama mengerjakan bendera itu Fauzi harus melibatkan Hasmi sang istri dan Andi Muliadi adiknya. Dengan menggunakan tiga mesin jahit seadanya, mereka meluangkan waktu yang tidak pendek untuk menyelesaikan jahitan itu. Karena terus dipacu bekerja selama empat bulan, kondisi mesin kini memprihatinkan. Hingga kini hanya satu mesin saja yang bisa berfungsi dengan baik.
“Awalya ada empat mesin, dua rusak. Tapi yang berfungsi dengan baik hanya satu mesin saja. Ada mesin yang pecah. Makanya saya juga mikir bagaimana cara mencari pengganti mesin ini.
Mau percaya boleh tidak juga boleh, saya buat bendera karena hatinya bangsa ikut. Mereka yang sudah tiada bagaimana, itu yang saya pikir,” katanya.
Kini pekerjaan Fauzi menjahit bendera telah usai. Iapun meninggalkan sejumlah persoalan yang belum mampu diselesaikannya. Selain mesin jahit rusak, mencari biaya makan yang sulit, iapun terancam harus angkat kaki dari rumah kontrakan tempat usahanya menjahit selama ini.
“Mudah-mudahan kalau dibelakang ada belas kasihan.
Kami hampir pergi dari sini karena bayar rumah ini saja kami tidak bisa. Tinggal lima bulan waktu kami di sini, kalau tidak bisa bayar harus angkat kaki. Mudah-mudahan ada yang mau bantu. Kalau soal makan bisa dicari. yang penting bagi saya utnuk kepentingan negara ini. Mau teriak sama siapa kalau bukan teman sendiri, bangsa sendiri?” katanya.(niko/tribunkaltim.co.id)
Editor : Mauliana_Noor
Sumber : Tribun Kaltim